1990 - 1999
Itu bukan model revolusioner tetapi pengembangan F300 yang cerdas dengan knalpot tinggi, peredam kejut depan, power steering yang dikontrol secara elektronik, dan suspensi belakang yang baru dirancang.
Mesinnya adalah 048 yang lebih ringan dari 047 dengan sedikit lebih banyak tenaga. Para insinyur telah menyempurnakan aerodinamika lebih lanjut, meningkatkan hubungan antara tarikan dan gaya turun, yang setara dengan meningkatkan tenaga kuda lebih jauh lagi, dan mengurangi tekanan pada mesin yang sekarang sangat andal. Ini membawa hasil pada akhirnya.
Pada tahun 1999 Ferrari memenangkan gelar konstruktor untuk pertama kalinya dalam 16 tahun, berkat Michael Schumacher, Eddie Irvine dan Mika Salo. Pembalap Finlandia itu menggantikan pebalap Jerman itu selama 6 balapan setelah pebalap Jerman itu mengalami cedera kaki akibat kecelakaan di Silverstone.
Schumacher, yang mengawali musim dengan gemilang di Imola dan Monte Carlo, membantu timnya dan Eddie Irvine dengan kembali untuk dua Grand Prix terakhir. Pembalap Inggris itu masih mengincar gelar pembalap, setelah sukses membuka musim di Australia dan menang di Austria, Jerman dan Malaysia, namun sayangnya, Ferrari kalah dalam gelar Pembalap (dari Mika Hakkinen untuk McLaren) di final. balapan di Suzuka untuk musim ketiga berturut-turut.
Baca juga: Peraih Gelar Juara Dunia F1 Tercepat, Apakah Max Verstappen?
Sepanjang musim 1990 hingga 1999, Ferrari sudah melakukan pengembangan pada mobilnya, pada era itu Ferrari F300 mengandalkan mesin V10 berkapasitas 2.996 cc dengan transmisi semi-otomatis 7 percepatan, mesin tersebut bisa menghasilkan tenaga sebesar 790 dk pada 16.300 rpm.
2000-2009
Semua bagian utama mobil direvisi dengan tujuan mendapatkan tingkat performa maksimal dari mesin 053 dan ban Bridgestone. Mesin 053 dibuat seandal mungkin karena peraturan baru menetapkan bahwa mesin harus bertahan dua kali lebih lama dari pendahulunya sepanjang akhir pekan balapan.
Selama ini juga berusaha meningkatkan performa. Konfigurasi aerodinamis dioptimalkan dengan mempertimbangkan perubahan aturan, membuat mobil menjadi lebih efisien. Pusat gravitasi F2004 lebih rendah dari model sebelumnya dan distribusi bobot mesin dan sasis disempurnakan.
Sasisnya baru dalam desainnya, konstruksinya diperbaiki dan bobotnya juga lebih ringan. Bodywork, radiator, knalpot, dan bagian belakang kursi tunggal didesain ulang, yang semakin meningkatkan aliran udara. Suspensi depan dan belakang dilihat lagi untuk meningkatkan penanganan dinamis mobil dan memanfaatkan Bridgestone sebanyak mungkin, serta mengoptimalkan seluruh paket aerodinamis.
Masa ini mengandalkan mesin V10 berkapasitas 2.997 cc dengan transmisi semi-otomatis 7 percepatan, sanggup memuntahkan tenaga hingga 865 dk pada 18.300 rpm.
Sejak musim tahun 2000 hingga 2004, Ferrari meraih sukses dan mendominasi dengan membawa Michael Schumacher menjadi juara dunia sebanyak 5 kali pada kurun waktu tersebut. Dan pada 2007, secara mengejutkan pembalap Finlandia yakni Kimi Raikkonen meraih gelar juara dunia pertamanya.
2010-2019
Pada era ini, Ferrari mendatangkan pembalap dengan titel juara dunia sebelumnya yakni Fernando Alonso dan Sebastian Vettel. Musim 2010 hingga 2013 mengandalkan mesin V8 2.400 cc, kemudian mulai 2014 hingga saat ini dengan alasan ramah lingkungan, maka digunakan mesin V6 Turbo Hybrid berkapasitas 1.600 cc.
Selama kurun waktu musim 2010 hingga 2019, Ferrari belum menunjukan keandalannya bahkan belum ada gelar juara dunia pembalap F1 yang singgah ke markas Ferrari di Maranello,
Baca juga: Akhir Mengecewakan, Begini Perjalanan Kimi "Iceman" Raikkonen
Nama besar Fernando Alonso dan Sebastian Vettal belum cukup kuat untuk membawa tim kuda jingkrak tersebut menunjukan tajinya. Ferrari masih berpusat pada pengembangan kendaraan,
Memasuki musim 2014, regulasi diubah dengan mewajibkan penggunaan mesin V6 Turbo Hybrid. Regulasi tersebut bertahan hingga saat ini (2022). Ferrari pun berbenah, melakukan upaya peningkatan performa dan desain mobil yang mampu membuat mobil jadi lebih cepat,
Hasilnya, Sebastian Vettel pada musim 2017 dan 2018 menjadi musim paling krusial bagi pembalap Jerman yang sudah mengantongi juara dunia F1 sebanyak 4 kali. Ia nyaris meraih gelar juara dunia lagi, pada 2017 menempati posisi kedua karena kondisi mobil yang belum stabil.
Pada 2018, lagi-lagi Vettel nyaris jadi juara dunia. Namun akibat jelang akhir musim pembalap Jerman itu kurang menjaga ritme balapnya dan melakukan beberapa kesalahan, membuat peluangnya kembali sirna untuk bisa meraih gelar dunia.
2019 menjadi musim terakhir Vettel, kemudian untuk musim berikutnya digantikan oleh Carlos Sainz. Musim 2020 menjadi musim semangat bagi tim, dibela oleh 2 pembala muda bertalenta.
Musim 2022, Charles Leclerc menjadi ancaman serius bagi Max Verstappen untuk meraih gelar juara dunia. Performa mobil F1-75 dikenal dengan mesin yang kencang dan aerodinamis yang baik, sayangnya masih kurang di daya tahan dan kesalahan pit stop membuat Red Bull Racing unggul dan mengantarkan Verstappen menjadi juara dunia lagi.
Nah, musim 2023 menjadi tahun serius bagi Ferrari. Hadirnya Fred Vasseur sebagai kepala tim menggantikan Mattia Binotto bisa menjadi atmosfer baru tim. Apalagi kabarnya perubahan desain mobil akan membuat musim 2023 sebagai tahun kesempatan Ferrari tampil sebagai pemenang, dukungan mesin yang baik diharapkan menjadi duet kuat untuk membawa Leclerc dan Sainz lebih kompetitif musim 2023 ini.